Memuliakan Orang Tua
22.36 Posted In Embun Pagi Edit This 0 Comments »
Ada seorang anak yang datang pada seorang Ustadz, kemudian mengeluh tentang perbuatan ibunya. Dia mengatakan : “Ibu saya itu orangnya kuno dan tidak berpendidikan. Akibatnya, saya merasa teraniaya menjadi anak “.
Lalu dengan tenang ustadz tersebut mengatakan: “Tulislah semua keburukan Ibumu !”. Kemudian ditulislah keburukan-keburukan ibunya: Ibuku orangnya pemarah, kurang perhatian, pelit, suka mendendam, dan sebagainya. Setelah selesai, Ustadz itu pun kemudian berkata:
“ Sekarang tulislah secara jujur apa saja jasa dan pengorbanan ibumu!”.
Akhirnya anak tersebut merenung: “Sewaktu di perut ibu, sembilan bulan saya menghisap darahnya. Saat itu, Ibuku sulit berdiri dan berjalan berat, bahkan berbaring pun sakit. Tiga bulan pertama mual dan muntah karena ada saya diperutnya. Ketika saya akan terlahir ke dunia, Ibu meregang nyawa diantara hidup dan mati. Meskipun bersimbah darah dan sakit tiada terperi, tapi ibu tetap rela dengan kehadiran saya. Setelah lahir, satu persatu jari saya dihitungnya dan dibelainya. Di tengah rasa sakit, beliau tiba-tiba tersenyum dengan lelehan air mata bahagia melihat saya terlahir. Dan saat itu pula Ibu menyangka akan lahir anak yang saleh yang akan memuliakannya.”.
Ketika sang anak menulis terus pengorbanan Ibunya, tak terasa berlinanglah air matanya. Semakin sadar bahwa untaian pengorbanan Ibunya sungguh tidak sebanding dengan kebaikan yang telah Ia perbuat untuk memuliakan Ibunya. Bahkan jika tubuh kita di kupas tidak akan terbanding, tidak akan bisa menandingi perih pahitnya penderitaan orangtua kita.
Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah r.a, Ia berkata: “Telah datang kepada Rasulullah SAW seorang laki-laki lalu bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah yang lebih berhak aku pergauli dengan baik?”. Beliau menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “kemudian siapa?”. Beliau menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “kemudian siapa?”. “Ibumu”. Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?’. Beliau menjawab: “Ayahmu”.(HR Bukhari dan Muslim).
Dari hadist tersebut, jelaslah betapa Allah melalui lisan Rasulullah SAW benar-benar menilai pengorbanan orangtua, khususnya Ibu kita, sehingga tiga kali beliau menyebutkan nama Ibu sebelum Ayah. Padahal beliau sendiri hanya berjumpa dengan Ibunya satu tahun belaka, yaitu dari usia 5 sampai 6 tahun. Namun beliau begitu mengajarkan pengormatan kepada ibunya, termasuk bagi Ibunda kita semua.
Cobalah kita renungkan! Pada waktu kita bayi, tidak kenal siang dan malam kita berbaring dan bangun sesuka hati. Padahal Ibu kita hampir tidak tidur semalam suntuk. Rasanya, beliau tidak rela bila ada satu ekor nyamukpun yang menggigit tubuh kita. Ketika kita mulai kecil mulai nakal, Ibu bahagia memamerkan diri kita kepada tetangga-tetangganya. Walaupun untuk itu beliau begitu direpotkan, berhutang sana sini agar kita punya sepatu dan berpakaian layak. Ketika menjelang sekolah, Ibu dan Ayah sungguh-sungguh membanting tulang mencari nafkah, agar kita bisa bersekolah seperti anak-anak yang lain. Walaupun mereka harus menahan lapar, namun puas asal anak-anaknya bisa kenyang.
Namun dalam kenyataannya, seiring pertumbuhan, tidak sebaik itu bakti kita kepada orang tua. Semakin lama kita kita semakin besar, mata jadi sering sinis kepada orangtua kita. Jangankan mencium tangan Ibu, untuk sebuah senyuman pun terkadang berat kita untuk melakukannya. Bahkan ucapan dan tindakan kita seakan seperti pisau yang sering mengiris hatinya. Lebih dari itu, seringkali seorang anak begitu mudah menyuruh-nyuruh orangtuanya. Tak ubahnya seperti pesuruh yang dihormati sekadarnya. Padahal tenaga, keringat, dan darah mereka habis untuk membela kita.
Lebih parah lagi, ada sebagian anak yang tidak mau memuliakan orang tuanya. Manakala orangtua semakin jompo dan si anak tidak mau mengurusnya, maka dititipkanlah orangtuanya di panti jompo, Astagfirullah. Ini adalah perbuatan yang sangat tercela. Padahal dulu kita sangat menyusahkannya. Harusnya semua itu diingat-ingat.
Tidak heran jika anak yang durhaka, anak yang tidak tahu balas budi, hidupnya didunia ini akan diliputi penderitaan. Kita sering mendengar, betapa hukuman-hukuman Allah cash diberikan pada anak-anak yang sering menzalimi orangtuanya. Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk selalu mengenang kembali semua untaian pengorbanan orangtua.
Sungguh pengorbanan orangtua kita adalah hutang. Walau ditebus nyawa sekalipun rasa-rasanya tidak akan terbayar. Allah SWT dalam surat Al Isra ayat 23 berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua-duanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,”.
Begitu santunnya Islam mengajarkan penghormatan kepada orang tua. Bukan saja dari muka, bahkan perkataan “ah!” saja sudah terlarang dalam Islam. Apalagi menghardik dan bersikap keras atau kasar. Bahkan kita dilarang untuk memaki Ibu Bapak orang lain, sebab setiap kali kita memaki-maki orang tua orang lain, maka bisa jadi akan mengundang orang itu untuk memaki orang tua kita. Dan itu adalah kezaliman bagi orangtua. Harusnya kata-kata yang mulia saja yang keluar dari lisan kita.
Beruntunglah bagi siapapun yang orang tuanya masih ada, karena jikalau orangtua kita sudah terbungkus kafan, kita tidak bisa lagi mencium tangannya atau menatap wajahnya. Karena itu kita harus memiliki tekad yang sangat kuat unutuk berbakti pada orang tua. Minimal kita berhenti dari menyakiti hati orang tua hingga tidak ada luka yang ditoreh hatinya. Syukur kalau kita sudah bisa menyenangkannya dan diberkahi manfaat besar bagi dunia dan juga akhiratnya.
Yang paling penting dalam menghormati orangtua bukanlah hanya dengan memberinya harta. Namun yang paling dibutuhkan adalah akhlak dari anaknya. Apalah artinya anak kaya, anak bergelar, anak berpangkat, tetapi tidak berakhlak kepada Ibu Bapaknya? Dan akhlak inilah sebenarnya kekayaan termahal yang bisa membuat sang anak doanya di jabah oleh Allah, sehingga bisa menyelamatkan dan memuliakan Ibu Bapaknya. Betapa yang dirindukan orangtua itu senyum manis yang tulus dari anaknya serta ketawaduan.
Oleh karena itu jangan beli orang tua dengan harta. Harta itu hanya secuil. Apalah artinya kita memberi uang, tapi uang itu dilemparkan ke depan wajahnya? Mudah-mudahan, kita semua dapat benar-benar menyadari bahwa orangtua itu tidak terbeli kecuali oleh kemuliaan akhlak.
Sosok orang tua memang tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Kita tidak bisa mengharapkan sosok Ibu atau Bapak seideal seperti yang di contohkan Rasulullah SAW dan Istrinya. Tapi justru kita harus mencari kelebihan-kelebihan mereka untuk kita syukuri. Sedangkan soal kekurangannya kita harus ada di barisan yang paling depan untuk membantunya agar luput dan selamat dari kehinaan karena kekurangan-kekurangan itu.
Bagaimanapun orangtua kita, darah dagingnya melekat di tubuh kita. Jika mereka belum shalih dan shalihah, kita yang harus mati-matian meminta kepada Allah supaya orangtua kita mendapat hidayah. Kalau orangtua masih bergelimang dosa, kita yang harus berjuang keras supaya di ampuni oleh Allah. Kalau belum taat, kita yang harus membuktikan bahwa diri kita sendiri adalah orang yang sedang berjuang keras kearah ketaatan itu.
Setiap orang berproses, dan awalnya kurang ilmu, namun lambat laun ilmunya bertambah. Jadi kita harus sikapi kekurangan orang tua kita dengan kelapangan hati. Bagaimanapun juga, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu, mudah-mudahan tekad kita semakin kuat untuk memuliakan orangtua.
Amin
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar
Lalu dengan tenang ustadz tersebut mengatakan: “Tulislah semua keburukan Ibumu !”. Kemudian ditulislah keburukan-keburukan ibunya: Ibuku orangnya pemarah, kurang perhatian, pelit, suka mendendam, dan sebagainya. Setelah selesai, Ustadz itu pun kemudian berkata:
“ Sekarang tulislah secara jujur apa saja jasa dan pengorbanan ibumu!”.
Akhirnya anak tersebut merenung: “Sewaktu di perut ibu, sembilan bulan saya menghisap darahnya. Saat itu, Ibuku sulit berdiri dan berjalan berat, bahkan berbaring pun sakit. Tiga bulan pertama mual dan muntah karena ada saya diperutnya. Ketika saya akan terlahir ke dunia, Ibu meregang nyawa diantara hidup dan mati. Meskipun bersimbah darah dan sakit tiada terperi, tapi ibu tetap rela dengan kehadiran saya. Setelah lahir, satu persatu jari saya dihitungnya dan dibelainya. Di tengah rasa sakit, beliau tiba-tiba tersenyum dengan lelehan air mata bahagia melihat saya terlahir. Dan saat itu pula Ibu menyangka akan lahir anak yang saleh yang akan memuliakannya.”.
Ketika sang anak menulis terus pengorbanan Ibunya, tak terasa berlinanglah air matanya. Semakin sadar bahwa untaian pengorbanan Ibunya sungguh tidak sebanding dengan kebaikan yang telah Ia perbuat untuk memuliakan Ibunya. Bahkan jika tubuh kita di kupas tidak akan terbanding, tidak akan bisa menandingi perih pahitnya penderitaan orangtua kita.
Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah r.a, Ia berkata: “Telah datang kepada Rasulullah SAW seorang laki-laki lalu bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah yang lebih berhak aku pergauli dengan baik?”. Beliau menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “kemudian siapa?”. Beliau menjawab: “Ibumu”. Dia bertanya lagi: “kemudian siapa?”. “Ibumu”. Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?’. Beliau menjawab: “Ayahmu”.(HR Bukhari dan Muslim).
Dari hadist tersebut, jelaslah betapa Allah melalui lisan Rasulullah SAW benar-benar menilai pengorbanan orangtua, khususnya Ibu kita, sehingga tiga kali beliau menyebutkan nama Ibu sebelum Ayah. Padahal beliau sendiri hanya berjumpa dengan Ibunya satu tahun belaka, yaitu dari usia 5 sampai 6 tahun. Namun beliau begitu mengajarkan pengormatan kepada ibunya, termasuk bagi Ibunda kita semua.
Cobalah kita renungkan! Pada waktu kita bayi, tidak kenal siang dan malam kita berbaring dan bangun sesuka hati. Padahal Ibu kita hampir tidak tidur semalam suntuk. Rasanya, beliau tidak rela bila ada satu ekor nyamukpun yang menggigit tubuh kita. Ketika kita mulai kecil mulai nakal, Ibu bahagia memamerkan diri kita kepada tetangga-tetangganya. Walaupun untuk itu beliau begitu direpotkan, berhutang sana sini agar kita punya sepatu dan berpakaian layak. Ketika menjelang sekolah, Ibu dan Ayah sungguh-sungguh membanting tulang mencari nafkah, agar kita bisa bersekolah seperti anak-anak yang lain. Walaupun mereka harus menahan lapar, namun puas asal anak-anaknya bisa kenyang.
Namun dalam kenyataannya, seiring pertumbuhan, tidak sebaik itu bakti kita kepada orang tua. Semakin lama kita kita semakin besar, mata jadi sering sinis kepada orangtua kita. Jangankan mencium tangan Ibu, untuk sebuah senyuman pun terkadang berat kita untuk melakukannya. Bahkan ucapan dan tindakan kita seakan seperti pisau yang sering mengiris hatinya. Lebih dari itu, seringkali seorang anak begitu mudah menyuruh-nyuruh orangtuanya. Tak ubahnya seperti pesuruh yang dihormati sekadarnya. Padahal tenaga, keringat, dan darah mereka habis untuk membela kita.
Lebih parah lagi, ada sebagian anak yang tidak mau memuliakan orang tuanya. Manakala orangtua semakin jompo dan si anak tidak mau mengurusnya, maka dititipkanlah orangtuanya di panti jompo, Astagfirullah. Ini adalah perbuatan yang sangat tercela. Padahal dulu kita sangat menyusahkannya. Harusnya semua itu diingat-ingat.
Tidak heran jika anak yang durhaka, anak yang tidak tahu balas budi, hidupnya didunia ini akan diliputi penderitaan. Kita sering mendengar, betapa hukuman-hukuman Allah cash diberikan pada anak-anak yang sering menzalimi orangtuanya. Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk selalu mengenang kembali semua untaian pengorbanan orangtua.
Sungguh pengorbanan orangtua kita adalah hutang. Walau ditebus nyawa sekalipun rasa-rasanya tidak akan terbayar. Allah SWT dalam surat Al Isra ayat 23 berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua-duanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,”.
Begitu santunnya Islam mengajarkan penghormatan kepada orang tua. Bukan saja dari muka, bahkan perkataan “ah!” saja sudah terlarang dalam Islam. Apalagi menghardik dan bersikap keras atau kasar. Bahkan kita dilarang untuk memaki Ibu Bapak orang lain, sebab setiap kali kita memaki-maki orang tua orang lain, maka bisa jadi akan mengundang orang itu untuk memaki orang tua kita. Dan itu adalah kezaliman bagi orangtua. Harusnya kata-kata yang mulia saja yang keluar dari lisan kita.
Beruntunglah bagi siapapun yang orang tuanya masih ada, karena jikalau orangtua kita sudah terbungkus kafan, kita tidak bisa lagi mencium tangannya atau menatap wajahnya. Karena itu kita harus memiliki tekad yang sangat kuat unutuk berbakti pada orang tua. Minimal kita berhenti dari menyakiti hati orang tua hingga tidak ada luka yang ditoreh hatinya. Syukur kalau kita sudah bisa menyenangkannya dan diberkahi manfaat besar bagi dunia dan juga akhiratnya.
Yang paling penting dalam menghormati orangtua bukanlah hanya dengan memberinya harta. Namun yang paling dibutuhkan adalah akhlak dari anaknya. Apalah artinya anak kaya, anak bergelar, anak berpangkat, tetapi tidak berakhlak kepada Ibu Bapaknya? Dan akhlak inilah sebenarnya kekayaan termahal yang bisa membuat sang anak doanya di jabah oleh Allah, sehingga bisa menyelamatkan dan memuliakan Ibu Bapaknya. Betapa yang dirindukan orangtua itu senyum manis yang tulus dari anaknya serta ketawaduan.
Oleh karena itu jangan beli orang tua dengan harta. Harta itu hanya secuil. Apalah artinya kita memberi uang, tapi uang itu dilemparkan ke depan wajahnya? Mudah-mudahan, kita semua dapat benar-benar menyadari bahwa orangtua itu tidak terbeli kecuali oleh kemuliaan akhlak.
Sosok orang tua memang tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Kita tidak bisa mengharapkan sosok Ibu atau Bapak seideal seperti yang di contohkan Rasulullah SAW dan Istrinya. Tapi justru kita harus mencari kelebihan-kelebihan mereka untuk kita syukuri. Sedangkan soal kekurangannya kita harus ada di barisan yang paling depan untuk membantunya agar luput dan selamat dari kehinaan karena kekurangan-kekurangan itu.
Bagaimanapun orangtua kita, darah dagingnya melekat di tubuh kita. Jika mereka belum shalih dan shalihah, kita yang harus mati-matian meminta kepada Allah supaya orangtua kita mendapat hidayah. Kalau orangtua masih bergelimang dosa, kita yang harus berjuang keras supaya di ampuni oleh Allah. Kalau belum taat, kita yang harus membuktikan bahwa diri kita sendiri adalah orang yang sedang berjuang keras kearah ketaatan itu.
Setiap orang berproses, dan awalnya kurang ilmu, namun lambat laun ilmunya bertambah. Jadi kita harus sikapi kekurangan orang tua kita dengan kelapangan hati. Bagaimanapun juga, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu, mudah-mudahan tekad kita semakin kuat untuk memuliakan orangtua.
Amin
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar
0 komentar:
Posting Komentar