Gempa, Sebuah Renungan
18.26 Posted In Embun Pagi Edit This 0 Comments »
Bagaimana sesungguhnya pandangan Islam tentang gempa bumi dan bencana alam lainnya? Adakah ia termasuk adzab Allah SWT? Ataukah ia sekedar musibah yang menjadi ujian bagii umat manusia? Atau sekedar gejala alam biasa? Mari kita coba menganalisanya untuk menjadi wawasan dan sikap bagi kaum muslimin menurut perspektif aqidah Islamiyyah.
Nabi Muhammad saw. sebagai rahmatan lil ‘alamin
Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi akhir zaman diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin. Dia berfirman :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya 107).
Para mufassir umumnya menyebut bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw. merupakan rahmat bagi orang mukmin maupun kafir.
Rahmat bagi orang-orang kafir yakni adzab atas mereka ditunda hingga hari kiyamat. Kalau umat-umat terdahulu langsung diadzab manakala kufur dan tak mau beriman kepada Rasul yang dutus kepada mereka (mis: umat Nabi Nuh ditimpa banjir, QS. Al Qamar 9-13; Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan di laut Merah lantaran mendustakan Nabi Musa a.s., QS. As Syu’ara 63-65; umat Nabi Hud ditimpa angin ribut, QS. Fushilat 16; umat Nabi Luth ditimpa hujan batu dari neraka Sijjil QS. Huud 81-83), umat Nabi Muhammad yang kafir tidak langsung diadzab, melainkan ditunda hingga hari kiyamat.
Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS. Al Anfal 32-33).
Allah juga berfirman:
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mu`jizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti” (QS.Al Isra 59).
Imam Al Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah SWT tersebut mengatakan bahwa Kami mencegah mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang mereka usulkan tidak lain karena toh akan mereka dustakan juga sehingga akan dimusnahkan seperti umat-umat sebelum mereka. Maka Allah mengakhirkan adzab dari orang-orang kafir Quraisy karena dia tahu bahwa di antara mereka ada yang beriman dan di antara mereka akan ada orang yang dilahirkan sebagai mukmin. Sesungguhnya mereka menghendaki agar Allah SWT mengubah bukit Shafa menjadi emas. Maka turunlah Jibril dan berbicara kepada Rasulullah saw.: “Jika engkau mau permintaan kaummu akan dipenuhi tetapi jika mereka tetap kufur, mereka tak diberi tempo lagi. Dan jika engkau mau akan aku lambatkan (siksa) buat mereka.” Maka Nabi menjawab: “Tidak, lambatkan saja adzab buat mereka”.
Kekufuran umat manusia di masa setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pun ditunda hingga hari kiyamat sebagai sunnatullah terhadap orang yang mengkufuri Nabi Muhammad saw. Allah SWT berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat. Jika Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung daripadanya“(QS. Al Kahfi 58).
Dia juga berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” (QS. Ibrahim 42).
Rasulullah saw. pun bersabda:
“Hari ini yang ada adalah amal dan tiada hisab, sedangkan besok yang ada adalah hisab dan tiada amal” (HR. Al Bukhari).
Jelaslah bahwa Alllah SWT tidak menjadikan dunia sebagai tempat perhitungan, tapi tempat berbuat. Sedangkan perhitungan (hisab) itu di akhirat kelak. Allah SWT. berfirman:
“Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” (QS. Ali Imran 185).
Bencana Alam sebagai peristiwa alam
Bencana alam seperti gempa bumi, hujan super lebat, banjir, kekeringan, kebakaran hutan maupun perkampungan, panas terik yang sangat menyengat, dingin yang sangat, semuanya merupakan sunnatullah di alam (sunnatullah fil kaun) dan karakteristik yang diciptakan Allah SWT tanpa campur tangan manusia.
Bencana tersebut menimpa kaum muslim maupun kafir, orang yang bertaqwa (taqiy) maupun orang yang banyak bermakshiyat (syaqiy).
Bencana itu terjadi mengikuti hukum sebab akibat. Kasus kebakaran hutan misalnya, terjadi lantaran kemarau panjang, sehingga tanaman kering, sinar matahari sangat terik, dan kebetulan ada orang yang lalai membuang puntung rokok sembarangan. Atau pembakaran hutan untuk membuka hutan (land clearing) yang kemudian malah tak terkendali sehingga menjadi bencana. Demikian pula, penyebaran penyakit AIDS yang begitu cepat mendunia lantaran perzinaan dan homoseks yang menjadi media penularan penyakit itu kini pun tersebar luas di seluruh dunia.
Bencana alam yang ada di dunia bukanlah adzab akhirat yang dimajukan ke dunia. Orang yang menderita penyakit AIDS lantaran terlibat homoseksual dan mati dalam keadaan menderita penyakit itu, misalnya, bukanlah berarti telah menebus dosa perbuatan kriminalnya itu. Penderitaan dan kematiannya itu tidak menghapus catatan dosanya. Hukuman tetap ada di akhirat. Sebab, yang bisa menghapus catatan dosanya hanyalah pelaksanaan hukum syari’at Islam, yakni hudud untuk pelaku homoseksual, yaitu hukuman mati. Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang melakukan perbuatan jahat umat Nabi Luth, bunuhlah dia”
Bencana Alam sebagai musibah merupakan ujian
Bencana alam sebagai sebuah musibah bukanlah balasan ilahi atas hamba yang berdosa. Justru musibah itu merupakan ujian dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al Baqarah 155-157).
Dan Rasulullah saw. bersabda:
“Manusia yang paling berat ujiannnya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang terbaik lalu yang terbaik; seseorang diuji sesuai dengan tingkat agamanya. Dan tidaklah ujian itu menimpa seorang hamba hingga Dia membiarkannya berjalan di muka bumi tanpa kesalahan” (HR. Al Baukhari).
Seorang mukmin yang bersabar atas musibah yang menimpanya dan dalam hal ini dia bersungguh-sungguh mencari ridla Allah SWT maka musibah itu menjadi nikmat baginya bukan menjadi siksa (niqmah), dan musibah itu menghapuskan keburukan-keburukannya dan menambah kebaikan-kebaikannya pada hari kiyamat.
Adapun orang kafir yang ditimpa musibah, maka musibah itu tidak menjadi penghapus atas keburukan-keburukannya serta tidak menambah kebaikan baginya pada hari kiamat. Sebab orang kafir di akhirat tak memiliki kebaikan, lantaran dihapus oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (QS. Al Furqan 23).
Sikap Muslim menghadapi bencana
Seorang muslim yakin bahwa segala bencana yang menimpa manusia, baik yang terjadi sebagai sunnatullah yang tidak mungkin dia kuasa melawannya maupun berkaitan dengan sebab akibat, semuanya merupakan taqdir Allah SWT yang harus diimani dan diterima dengan sikap ridla terhadap kehendak-Nya disertai sikap sabar yang akan menumbuhkan optimisme hidup sebagaimana disebut dalam QS. Al Baqarah 155-157 di atas.
Kaum muslimin yang melihat saudara-saudara mereka tertimpa bencana alam, sudah semestinya ikut prihatin dan memberikan bantuan baik moril maupun materil sebagai sebuah perwujudan ukhuwwah Islamiyah. Rasulullah saw. bersabda:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kehangatan dan kasih sayang di antara mereka dan hubungan baik satu sama lain di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotra tubuh mengeluh, maka akan ikut mengaduh seluruh jasad dengan demam dan tak bisa tidur“.
Namun, manakala bencana alam itu sifatnya meluas, maka peranan negara sebagai pemelihara urusan umat haruslah dominan. Sebab, negaralah yang menguasai pengelolaan kekayaan milik umum yang diperuntukkan bagi masyarakat. Dalam kitab Al Amwaal fi Daulatil Khilafah halaman 27-28, karangan Syaikh Abdul Qadim Zallum, menyebut bahwa di Baitul Mal negara terdapat satu biro yang disebut Diwan At Thawari’ yang tugasnya mengurus masalah bencana yang menimpa kaum muslimin seperti gempa bumi, angin topan dan kelaparan. Pembelanjaan atas bencana alam ini dibiayai dari pendapatan Baitul Mal lewat Diwan Al Fai’i wal Kharaj dan pendapatan dari Diwan Milkiyyah al ‘amah. Jika dana di dua biro tersebut tidak ada, diambilkan dari harta kaum muslimin. Oleh karena itu, seperti terjadi di dunia kapitalis, tidak tepat jika dana bantuan langsung diminta kepada masyarakat sementara negara berlepas tangan, apalagi lembaga yang mengurus masalah-masalah sosial malah dihapuskan.
Khatimah
Kini jelaslah bahwa gempa, banjir, dan bencana alam lainnya merupakan takdir Allah yang harus diimani sekaligus ujian yang harus dihadapi dengan sabar.
Bencana harus senantiasa diwaspadai dan direnungkan demi masa depan umat manusia, yakni adanya hari akhirat dengan nikmat dan siksanya yang jauh lebih dahsyat dan abadi. Sudahkah keimanan dan amal perbuatan kita siapkan agar terhindar dari bencana akhirat?
Marilah kita senantiasa berdoa:
“(Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran 8).
Amiin! [Buletin Al-Islam - Edisi 17]
Nabi Muhammad saw. sebagai rahmatan lil ‘alamin
Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi akhir zaman diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam, rahmatan lil ‘alamin. Dia berfirman :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya 107).
Para mufassir umumnya menyebut bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw. merupakan rahmat bagi orang mukmin maupun kafir.
Rahmat bagi orang-orang kafir yakni adzab atas mereka ditunda hingga hari kiyamat. Kalau umat-umat terdahulu langsung diadzab manakala kufur dan tak mau beriman kepada Rasul yang dutus kepada mereka (mis: umat Nabi Nuh ditimpa banjir, QS. Al Qamar 9-13; Fir’aun dan bala tentaranya ditenggelamkan di laut Merah lantaran mendustakan Nabi Musa a.s., QS. As Syu’ara 63-65; umat Nabi Hud ditimpa angin ribut, QS. Fushilat 16; umat Nabi Luth ditimpa hujan batu dari neraka Sijjil QS. Huud 81-83), umat Nabi Muhammad yang kafir tidak langsung diadzab, melainkan ditunda hingga hari kiyamat.
Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: “Ya Allah, jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS. Al Anfal 32-33).
Allah juga berfirman:
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mu`jizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti” (QS.Al Isra 59).
Imam Al Qurthubi ketika menafsirkan firman Allah SWT tersebut mengatakan bahwa Kami mencegah mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang mereka usulkan tidak lain karena toh akan mereka dustakan juga sehingga akan dimusnahkan seperti umat-umat sebelum mereka. Maka Allah mengakhirkan adzab dari orang-orang kafir Quraisy karena dia tahu bahwa di antara mereka ada yang beriman dan di antara mereka akan ada orang yang dilahirkan sebagai mukmin. Sesungguhnya mereka menghendaki agar Allah SWT mengubah bukit Shafa menjadi emas. Maka turunlah Jibril dan berbicara kepada Rasulullah saw.: “Jika engkau mau permintaan kaummu akan dipenuhi tetapi jika mereka tetap kufur, mereka tak diberi tempo lagi. Dan jika engkau mau akan aku lambatkan (siksa) buat mereka.” Maka Nabi menjawab: “Tidak, lambatkan saja adzab buat mereka”.
Kekufuran umat manusia di masa setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pun ditunda hingga hari kiyamat sebagai sunnatullah terhadap orang yang mengkufuri Nabi Muhammad saw. Allah SWT berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat. Jika Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu (untuk mendapat azab) yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung daripadanya“(QS. Al Kahfi 58).
Dia juga berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” (QS. Ibrahim 42).
Rasulullah saw. pun bersabda:
“Hari ini yang ada adalah amal dan tiada hisab, sedangkan besok yang ada adalah hisab dan tiada amal” (HR. Al Bukhari).
Jelaslah bahwa Alllah SWT tidak menjadikan dunia sebagai tempat perhitungan, tapi tempat berbuat. Sedangkan perhitungan (hisab) itu di akhirat kelak. Allah SWT. berfirman:
“Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu” (QS. Ali Imran 185).
Bencana Alam sebagai peristiwa alam
Bencana alam seperti gempa bumi, hujan super lebat, banjir, kekeringan, kebakaran hutan maupun perkampungan, panas terik yang sangat menyengat, dingin yang sangat, semuanya merupakan sunnatullah di alam (sunnatullah fil kaun) dan karakteristik yang diciptakan Allah SWT tanpa campur tangan manusia.
Bencana tersebut menimpa kaum muslim maupun kafir, orang yang bertaqwa (taqiy) maupun orang yang banyak bermakshiyat (syaqiy).
Bencana itu terjadi mengikuti hukum sebab akibat. Kasus kebakaran hutan misalnya, terjadi lantaran kemarau panjang, sehingga tanaman kering, sinar matahari sangat terik, dan kebetulan ada orang yang lalai membuang puntung rokok sembarangan. Atau pembakaran hutan untuk membuka hutan (land clearing) yang kemudian malah tak terkendali sehingga menjadi bencana. Demikian pula, penyebaran penyakit AIDS yang begitu cepat mendunia lantaran perzinaan dan homoseks yang menjadi media penularan penyakit itu kini pun tersebar luas di seluruh dunia.
Bencana alam yang ada di dunia bukanlah adzab akhirat yang dimajukan ke dunia. Orang yang menderita penyakit AIDS lantaran terlibat homoseksual dan mati dalam keadaan menderita penyakit itu, misalnya, bukanlah berarti telah menebus dosa perbuatan kriminalnya itu. Penderitaan dan kematiannya itu tidak menghapus catatan dosanya. Hukuman tetap ada di akhirat. Sebab, yang bisa menghapus catatan dosanya hanyalah pelaksanaan hukum syari’at Islam, yakni hudud untuk pelaku homoseksual, yaitu hukuman mati. Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa yang melakukan perbuatan jahat umat Nabi Luth, bunuhlah dia”
Bencana Alam sebagai musibah merupakan ujian
Bencana alam sebagai sebuah musibah bukanlah balasan ilahi atas hamba yang berdosa. Justru musibah itu merupakan ujian dari Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al Baqarah 155-157).
Dan Rasulullah saw. bersabda:
“Manusia yang paling berat ujiannnya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang terbaik lalu yang terbaik; seseorang diuji sesuai dengan tingkat agamanya. Dan tidaklah ujian itu menimpa seorang hamba hingga Dia membiarkannya berjalan di muka bumi tanpa kesalahan” (HR. Al Baukhari).
Seorang mukmin yang bersabar atas musibah yang menimpanya dan dalam hal ini dia bersungguh-sungguh mencari ridla Allah SWT maka musibah itu menjadi nikmat baginya bukan menjadi siksa (niqmah), dan musibah itu menghapuskan keburukan-keburukannya dan menambah kebaikan-kebaikannya pada hari kiyamat.
Adapun orang kafir yang ditimpa musibah, maka musibah itu tidak menjadi penghapus atas keburukan-keburukannya serta tidak menambah kebaikan baginya pada hari kiamat. Sebab orang kafir di akhirat tak memiliki kebaikan, lantaran dihapus oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (QS. Al Furqan 23).
Sikap Muslim menghadapi bencana
Seorang muslim yakin bahwa segala bencana yang menimpa manusia, baik yang terjadi sebagai sunnatullah yang tidak mungkin dia kuasa melawannya maupun berkaitan dengan sebab akibat, semuanya merupakan taqdir Allah SWT yang harus diimani dan diterima dengan sikap ridla terhadap kehendak-Nya disertai sikap sabar yang akan menumbuhkan optimisme hidup sebagaimana disebut dalam QS. Al Baqarah 155-157 di atas.
Kaum muslimin yang melihat saudara-saudara mereka tertimpa bencana alam, sudah semestinya ikut prihatin dan memberikan bantuan baik moril maupun materil sebagai sebuah perwujudan ukhuwwah Islamiyah. Rasulullah saw. bersabda:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kehangatan dan kasih sayang di antara mereka dan hubungan baik satu sama lain di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotra tubuh mengeluh, maka akan ikut mengaduh seluruh jasad dengan demam dan tak bisa tidur“.
Namun, manakala bencana alam itu sifatnya meluas, maka peranan negara sebagai pemelihara urusan umat haruslah dominan. Sebab, negaralah yang menguasai pengelolaan kekayaan milik umum yang diperuntukkan bagi masyarakat. Dalam kitab Al Amwaal fi Daulatil Khilafah halaman 27-28, karangan Syaikh Abdul Qadim Zallum, menyebut bahwa di Baitul Mal negara terdapat satu biro yang disebut Diwan At Thawari’ yang tugasnya mengurus masalah bencana yang menimpa kaum muslimin seperti gempa bumi, angin topan dan kelaparan. Pembelanjaan atas bencana alam ini dibiayai dari pendapatan Baitul Mal lewat Diwan Al Fai’i wal Kharaj dan pendapatan dari Diwan Milkiyyah al ‘amah. Jika dana di dua biro tersebut tidak ada, diambilkan dari harta kaum muslimin. Oleh karena itu, seperti terjadi di dunia kapitalis, tidak tepat jika dana bantuan langsung diminta kepada masyarakat sementara negara berlepas tangan, apalagi lembaga yang mengurus masalah-masalah sosial malah dihapuskan.
Khatimah
Kini jelaslah bahwa gempa, banjir, dan bencana alam lainnya merupakan takdir Allah yang harus diimani sekaligus ujian yang harus dihadapi dengan sabar.
Bencana harus senantiasa diwaspadai dan direnungkan demi masa depan umat manusia, yakni adanya hari akhirat dengan nikmat dan siksanya yang jauh lebih dahsyat dan abadi. Sudahkah keimanan dan amal perbuatan kita siapkan agar terhindar dari bencana akhirat?
Marilah kita senantiasa berdoa:
“(Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran 8).
Amiin! [Buletin Al-Islam - Edisi 17]
0 komentar:
Posting Komentar