Buah hati
00.07 Posted In Kisah Edit This 0 Comments »
Pak Dodi tersenyum tipis saat menyaksikan tiga pengamen cilik beraksi. Bis yang ditumpanginya sedang berhenti di lampu merah perempatan Cikampek menuju tol Jakarta. Kegiatan dadakan di bis non-AC jurusan Semarang-Jakarta itu tiba-tiba membuai pikirannya menuju rumah.
Ah, gimana ya keadaan tiga anakku. Baru tiga hari dua malam, rasanya seperti tiga bulan. Kangen banget. Si sulung Fikri yang suka mandi lama. Saking lamanya, mandi Fikri selalu jadi biang keladi telat ke sekolah. Kalau tidak dimarahi, Fikri terlihat santai di kamar mandi. Ada saja yang dilakukan. Jari-jemarinya sering terlihat seperti membelai-belai air di kolam. Kadang, gayung yang sudan dipegangnya pun jadi bahan mainan. Gayung itu diangkat, diturunkan, diangkat, dan akhirnya diturunkan lagi. Seolah, ia seperti sedang memegang sebuah pesawat mainan.
Ah, Fikri. Entah berapa kali sehari ia kumarahi. Mandi dimarahi, berpakaian pun begitu. Selalu saja harus dimarahi. Pak Dodi mengingat-ingat bagaimana tiba-tiba ia bisa berubah kasar pada Fikri. "Kamu sedang apa, sih Fikri! Bengong! Kamu sengaja mau telat, apa?" Dan, plak! Tamparan setengah keras tiba-tiba mendarat di lengan kurus Fikri. Kontan, lengan bekas tamparan itu pun agak memerah. Fikri cuma diam. Kalau nangis, hukuman bisa lebih berat.
Aah, kenapa aku bisa sekasar itu. Pak Dodi menarik nafas dalam. Pandangannya beralih ke jendela bis yang menampakan panorama alam yang bergerak melawan arah gerak bis. Sesekali, pohon-pohon bergerak melambai-lambai ditiup angin yang tiupannya terasa mengalir lembut lewat celah jendela yang terbuka kecil.
Haruskah aku sekasar itu? Suara hati Pak Dodi mulai berbisik. Dia baru enam tahun. Dan, masih duduk di kelas satu SD. Bukankah bermain memang dunianya. Boleh jadi, imajinasi Fikri berbeda dengan anak lain. Air mandi yang mestinya segera mengguyur tubuhnya mungkin terlihat seperti makhluk hidup lemah yang butuh belaian. Gayung yang mestinya memuat air, bisa jadi seperti pesawat helikopter yang terbang berkeliling di tepi danau.
Ah, betapa sakitnya hati anak itu. Perasaannya tertekan. Imajinasinya mungkin buyar. Seperti buyarnya air yang mengguyur sekujur tubuhnya. Padahal, masih ada cara lain yang lebih mendidik ketimbang cuma marah dan…. Astaghfirullah, entah berapa kali tangan ini membuat sakit lengan kurus Fikri.
Pikirannya menerawang kepada kesabaran Rasulullah saw. Beliau sama sekali tidak marah ketika cucunya menaiki punggungnya saat sujud. Layaknya seperti anak yang main kuda-kudaan. Sang cucu mengira, kakeknya menyediakan punggung untuk ditunggangi. Padahal, beliau sedang sujud. Bukan saja tidak marah, Baginda Rasul pun berlama-lama dalam sujud. Beliau khawatir, kalau kesenangan dan keceriaan sang cucu cepat berakhir. Beliau tetap sujud, hingga si cucu merasa bosan.
Langit di sekitar jalan tol Cikampek mulai mendung. Awan hitam beriring-iringan. Hujan rintik-rintik pun mulai membasahi kaca jendela bis. Hujan. Pak Dodi teringat dengan Syifa. Bocah berusia empat tahun itu memang suka main hujan. Kalau dilarang, tangisnya bisa mengalahkan derasnya hujan. Dan, raungannya bisa mengalahkan gelegar halilintar.
Pak Dodi menggerak-gerakkan jari-jarinya yang sejak tadi memegang tas travelnya erat-erat. Jari-jari ini pernah menyentil telinga halus hamba Allah yang manis. Karena kesalnya, Pak Dodi pernah menyentil telinga Syifa hingga berwarna kebiru-biruan. Waktu itu, Syifa menghilang dari ruang keluarga. Betapa kagetnya Pak Dodi, kalau Syifa sedang bernikmat-nikmat mandi hujan di halaman. Hore! Hore! Asyik!
Kegembiraan dan keceriaan Syifa berubah drastis. Matanya memerah. Mukanya pucat ketakutan. Sambil memegangi telinganya, Syifa berjalan pelan masuk rumah. Tangisnya pun tak lagi bisa terbendung. Pak Dodi mengusap air matanya yang mulai berlinang. Masih segar dalam ingatannya, tentang kata-kata kasar yang terlontar spontan. "Kamu nakal, Syifa! Kamu mau sakit! Hah!" Saat itu, Syifa cuma sesegukan. Bajunya yang basah kuyup mulai menitikkan tetesan air ke lantai. Dinginnya air hujan seperti tenggelam dengan panasnya amarah Pak Dodi.
Ah, waktu itu saya panik. Suara batin Pak Dodi mencoba menenangkan kegelisahan hatinya. Waktu itu, Pak Dodi tidak bisa membedakan antara nakal dengan ingin tahu. Padahal, ia paham kalau rasa ingin tahu itu merupakan modal utama tumbuhkembangnya pemikiran dan kematangan jiwa anak. Mungkin, Syifa tertarik dengan tetesan-tetesan air hujan yang terlihat menggiurkan. Darimana, ya, air itu? Kok bisa menyiram rumah, pohon, dan halaman rumah. Ah, gimana ya rasanya tersiram air itu. Tentu, dingin dan segar. Pak Dodi mulai mengusap sebagian tetesan keringat yang mulai membasahi dahinya. Mungkin, seperti itulah perasaan Syifa. Kasihan anak itu. Rasa ingin tahunya tersendat dengan kepanikanku yang berlebihan.
Ruangan bis yang ditumpangi Pak Dodi mulai terasa panas. Itu karena semua kaca nyaris tertutup rapat menghindari percikan air hujan. Udara yang sudah menipis itu pun kian sumpek dengan berkelilingnya asap rokok. Seorang bocah berusia dua tahunan menangis. Suaranya memecah keheningan para penumpang yang mulai ngantuk. "Diam, nak. Diam, ya sayang. Dikit lagi sampe, tuh," suara seorang ibu menenangkan sang anak. Sang ibu mengipas-ngipasi anaknya dengan koran. Wajahnya terlihat berkeringat. Dan, keringat itu pun semakin jelas mengalir dari sela-sela wajah si ibu. Ia seperti tak peduli. Biarlah aku berkeringat, demi kesejukan si buah hati. Seperti itulah kira-kira isi pesan si ibu kepada Pak Dodi.
Suara tangis si anak tadi mengingatkan Pak Dodi dengan si bungsu, Jundi. Perawakannya hampir sama. Agak gemuk, rambut tipis, kulit sawo matang, dan pipi agak tembem. Mungkin, usianya pun sama. Dua tahunan. Deru mesin bis yang mulai terdengar mengganti diamnya suara tangis sang bocah. Mungkin, ia sudah tidur di pelukan sang ibu. Namun, ibu yang duduk tepat di depan bangku Pak Dodi terlihat masih mengipas. Ia seperti tak lagi peduli dengan keringat yang mulai membasahi sebagian kerah baju belakangnya. Sekali lagi, demi buah hati tercinta.
Suara tangis itu mirip milik Jundi. Suara itu pernah terdengar keras setelah Pak Dodi membentak Jundi habis-habisan. "Kamu, selalu pipis di celana. Kamu sudah besar, Jundi! Awas, pipis lagi, Ayah tabok, kamu!" Tapi, tangan Pak Dodi sudah terlanjur mendarat di pantat sang bocah. Dan, pipisnya pun jadi tambah.
Akibat kejadian itu, Jundi sering diam kalau tak lagi mampu menahan pipis. Bocah yang biasanya ceria itu pun masuk kamar atau sembunyi di balik pintu. Padahal, ia tahu arah kamar mandi. Nalarnya seperti tersumbat. Walau celananya sudah basah, ia tetap saja diam. Takut. Dan sembunyi.
Ya Allah, begitu banyak dosa dan kekhilafanku. Suara batin Pak Dodi membisik pelan. Matanya mulai memejam. Jangan Kau biarkan hambaMu yang bodoh ini melalaikan amanahMu yang sangat berharga itu. Mereka permataku, penyejuk hatiku. Semestinya, aku pun seperti itu buat mereka. Penyejuk mata yang menyenangkan dan menenteramkan. Bukan justru, menakutkan. Maafkan, aku anak-anakku. Maafkan, ayahmu yang bodoh ini. Maafkan, sayang!
Tak terasa, bis sudah keluar tol menuju terminal Pulogadung. Tetesan air hujan tak lagi terlihat Cuaca di Jakarta ternyata cukup cerah. Secerah hati Pak Dodi. Hati untuk amanah Allah yang sangat berharga. Buah hati yang kini menantinya di rumah. "Semoga, ayah tidak mengulangi lagi, anakku!" bisik Pak Dodi mantap. Wallahu’alam
Ah, gimana ya keadaan tiga anakku. Baru tiga hari dua malam, rasanya seperti tiga bulan. Kangen banget. Si sulung Fikri yang suka mandi lama. Saking lamanya, mandi Fikri selalu jadi biang keladi telat ke sekolah. Kalau tidak dimarahi, Fikri terlihat santai di kamar mandi. Ada saja yang dilakukan. Jari-jemarinya sering terlihat seperti membelai-belai air di kolam. Kadang, gayung yang sudan dipegangnya pun jadi bahan mainan. Gayung itu diangkat, diturunkan, diangkat, dan akhirnya diturunkan lagi. Seolah, ia seperti sedang memegang sebuah pesawat mainan.
Ah, Fikri. Entah berapa kali sehari ia kumarahi. Mandi dimarahi, berpakaian pun begitu. Selalu saja harus dimarahi. Pak Dodi mengingat-ingat bagaimana tiba-tiba ia bisa berubah kasar pada Fikri. "Kamu sedang apa, sih Fikri! Bengong! Kamu sengaja mau telat, apa?" Dan, plak! Tamparan setengah keras tiba-tiba mendarat di lengan kurus Fikri. Kontan, lengan bekas tamparan itu pun agak memerah. Fikri cuma diam. Kalau nangis, hukuman bisa lebih berat.
Aah, kenapa aku bisa sekasar itu. Pak Dodi menarik nafas dalam. Pandangannya beralih ke jendela bis yang menampakan panorama alam yang bergerak melawan arah gerak bis. Sesekali, pohon-pohon bergerak melambai-lambai ditiup angin yang tiupannya terasa mengalir lembut lewat celah jendela yang terbuka kecil.
Haruskah aku sekasar itu? Suara hati Pak Dodi mulai berbisik. Dia baru enam tahun. Dan, masih duduk di kelas satu SD. Bukankah bermain memang dunianya. Boleh jadi, imajinasi Fikri berbeda dengan anak lain. Air mandi yang mestinya segera mengguyur tubuhnya mungkin terlihat seperti makhluk hidup lemah yang butuh belaian. Gayung yang mestinya memuat air, bisa jadi seperti pesawat helikopter yang terbang berkeliling di tepi danau.
Ah, betapa sakitnya hati anak itu. Perasaannya tertekan. Imajinasinya mungkin buyar. Seperti buyarnya air yang mengguyur sekujur tubuhnya. Padahal, masih ada cara lain yang lebih mendidik ketimbang cuma marah dan…. Astaghfirullah, entah berapa kali tangan ini membuat sakit lengan kurus Fikri.
Pikirannya menerawang kepada kesabaran Rasulullah saw. Beliau sama sekali tidak marah ketika cucunya menaiki punggungnya saat sujud. Layaknya seperti anak yang main kuda-kudaan. Sang cucu mengira, kakeknya menyediakan punggung untuk ditunggangi. Padahal, beliau sedang sujud. Bukan saja tidak marah, Baginda Rasul pun berlama-lama dalam sujud. Beliau khawatir, kalau kesenangan dan keceriaan sang cucu cepat berakhir. Beliau tetap sujud, hingga si cucu merasa bosan.
Langit di sekitar jalan tol Cikampek mulai mendung. Awan hitam beriring-iringan. Hujan rintik-rintik pun mulai membasahi kaca jendela bis. Hujan. Pak Dodi teringat dengan Syifa. Bocah berusia empat tahun itu memang suka main hujan. Kalau dilarang, tangisnya bisa mengalahkan derasnya hujan. Dan, raungannya bisa mengalahkan gelegar halilintar.
Pak Dodi menggerak-gerakkan jari-jarinya yang sejak tadi memegang tas travelnya erat-erat. Jari-jari ini pernah menyentil telinga halus hamba Allah yang manis. Karena kesalnya, Pak Dodi pernah menyentil telinga Syifa hingga berwarna kebiru-biruan. Waktu itu, Syifa menghilang dari ruang keluarga. Betapa kagetnya Pak Dodi, kalau Syifa sedang bernikmat-nikmat mandi hujan di halaman. Hore! Hore! Asyik!
Kegembiraan dan keceriaan Syifa berubah drastis. Matanya memerah. Mukanya pucat ketakutan. Sambil memegangi telinganya, Syifa berjalan pelan masuk rumah. Tangisnya pun tak lagi bisa terbendung. Pak Dodi mengusap air matanya yang mulai berlinang. Masih segar dalam ingatannya, tentang kata-kata kasar yang terlontar spontan. "Kamu nakal, Syifa! Kamu mau sakit! Hah!" Saat itu, Syifa cuma sesegukan. Bajunya yang basah kuyup mulai menitikkan tetesan air ke lantai. Dinginnya air hujan seperti tenggelam dengan panasnya amarah Pak Dodi.
Ah, waktu itu saya panik. Suara batin Pak Dodi mencoba menenangkan kegelisahan hatinya. Waktu itu, Pak Dodi tidak bisa membedakan antara nakal dengan ingin tahu. Padahal, ia paham kalau rasa ingin tahu itu merupakan modal utama tumbuhkembangnya pemikiran dan kematangan jiwa anak. Mungkin, Syifa tertarik dengan tetesan-tetesan air hujan yang terlihat menggiurkan. Darimana, ya, air itu? Kok bisa menyiram rumah, pohon, dan halaman rumah. Ah, gimana ya rasanya tersiram air itu. Tentu, dingin dan segar. Pak Dodi mulai mengusap sebagian tetesan keringat yang mulai membasahi dahinya. Mungkin, seperti itulah perasaan Syifa. Kasihan anak itu. Rasa ingin tahunya tersendat dengan kepanikanku yang berlebihan.
Ruangan bis yang ditumpangi Pak Dodi mulai terasa panas. Itu karena semua kaca nyaris tertutup rapat menghindari percikan air hujan. Udara yang sudah menipis itu pun kian sumpek dengan berkelilingnya asap rokok. Seorang bocah berusia dua tahunan menangis. Suaranya memecah keheningan para penumpang yang mulai ngantuk. "Diam, nak. Diam, ya sayang. Dikit lagi sampe, tuh," suara seorang ibu menenangkan sang anak. Sang ibu mengipas-ngipasi anaknya dengan koran. Wajahnya terlihat berkeringat. Dan, keringat itu pun semakin jelas mengalir dari sela-sela wajah si ibu. Ia seperti tak peduli. Biarlah aku berkeringat, demi kesejukan si buah hati. Seperti itulah kira-kira isi pesan si ibu kepada Pak Dodi.
Suara tangis si anak tadi mengingatkan Pak Dodi dengan si bungsu, Jundi. Perawakannya hampir sama. Agak gemuk, rambut tipis, kulit sawo matang, dan pipi agak tembem. Mungkin, usianya pun sama. Dua tahunan. Deru mesin bis yang mulai terdengar mengganti diamnya suara tangis sang bocah. Mungkin, ia sudah tidur di pelukan sang ibu. Namun, ibu yang duduk tepat di depan bangku Pak Dodi terlihat masih mengipas. Ia seperti tak lagi peduli dengan keringat yang mulai membasahi sebagian kerah baju belakangnya. Sekali lagi, demi buah hati tercinta.
Suara tangis itu mirip milik Jundi. Suara itu pernah terdengar keras setelah Pak Dodi membentak Jundi habis-habisan. "Kamu, selalu pipis di celana. Kamu sudah besar, Jundi! Awas, pipis lagi, Ayah tabok, kamu!" Tapi, tangan Pak Dodi sudah terlanjur mendarat di pantat sang bocah. Dan, pipisnya pun jadi tambah.
Akibat kejadian itu, Jundi sering diam kalau tak lagi mampu menahan pipis. Bocah yang biasanya ceria itu pun masuk kamar atau sembunyi di balik pintu. Padahal, ia tahu arah kamar mandi. Nalarnya seperti tersumbat. Walau celananya sudah basah, ia tetap saja diam. Takut. Dan sembunyi.
Ya Allah, begitu banyak dosa dan kekhilafanku. Suara batin Pak Dodi membisik pelan. Matanya mulai memejam. Jangan Kau biarkan hambaMu yang bodoh ini melalaikan amanahMu yang sangat berharga itu. Mereka permataku, penyejuk hatiku. Semestinya, aku pun seperti itu buat mereka. Penyejuk mata yang menyenangkan dan menenteramkan. Bukan justru, menakutkan. Maafkan, aku anak-anakku. Maafkan, ayahmu yang bodoh ini. Maafkan, sayang!
Tak terasa, bis sudah keluar tol menuju terminal Pulogadung. Tetesan air hujan tak lagi terlihat Cuaca di Jakarta ternyata cukup cerah. Secerah hati Pak Dodi. Hati untuk amanah Allah yang sangat berharga. Buah hati yang kini menantinya di rumah. "Semoga, ayah tidak mengulangi lagi, anakku!" bisik Pak Dodi mantap. Wallahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar