Keindahan Akhlak
00.20 Posted In Kisah Edit This 0 Comments »
Peristiwa yang saya lihat dan kemudian saya ceritakan pada tulisan berikut ini sesungguhnya terjadi sudah cukup lama, tidak kurang dari 17 tahun yang lalu. Tapi rasanya saya tidak pernah melupakannya. Saya rasakan peristiwa yang saya maksudkan itu sedemikian indahnya.
Cerita yang saya maksudkan ini, sesungguhnya juga sederhana saja, yaitu hanya terkait tentang pengajian, kebaktian anak terhadap orang tua, dan ditambah lagi tentang semangat berbagi. Saya sebut sebagai hal sederhana, karena sesungguhnya bisa dilakukan oleh siapapun, sekalipun ternyata jarang terjadi. Maka, itulah sebabnya, peristiwa itu saya rasakan sebagai sebuah keindahan yang selalu saya ingat.
Ketika saya masih menjabat sebagai Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, kira-kira 17 tahun yang lalu, saya menyelenggarakan pengajian, yang diikuti oleh para pimpinan, dosen, dan karyawan kampus itu. Pada pengajian itu, sebagai pembicara, saya mengundang Pak AR Fahruddin, Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang bertempat tinggal di Yogyakarta.
Untuk maksud pengajian itu, saya memohon kesediaan beliau lewat tilpun. Saya sudah merasa terbiasa berkomunikasi dengan beliau, sehingga sekalipun pembicaraan itu hanya lewat tilpun, saya rasa tidak mengapa. Beliaupun juga melayani pembicaraan itu dengan baik. Selain itu saya tahu, bahwa beliau itu selalu mengedepankan kesederhanaan, kemudahan, dan efisiensi. Pembicaraan lewat tilpun jauh lebih sederhana, mudah, dan efisien daripada saya harus menghadap beliau ke Yogyakarta.
Saya sangat bersyukur ketika itu, beliau memenuhi permohonan saya, sekalipun hanya saya ajukan permohonan itu lewat tilpun. Selanjutnya, saya mohon kepada beliau ketika itu, agar ketika hadir ke Malang, supaya menggunakan pesawat terbang saja. Saya memohon agar beliau tidak naik mobil, supaya tidak terlalu capek. Usulan itu saya ajukan, dengan pertimbangan selain beliau sudah cukup sepuh, juga beberapa waktu, saya dengar kesehatannya harus selalu dijaga. Atas usul saya itu, beliau mengiyakan.
Menjelang tiba waktunya pengajian, Pak AR Fahruddin datang. Ternyata tidak jadi naik pesawat terbang, beliau diantar oleh putranya, yaitu Pak Sukri dengan mobil. Saya ketika itu kaget dan menanyakan, mengapa tidak naik pesawat sebagaimana yang saya usulkan terdahulu. Maka, dijawab secara spontan oleh beliau, bahwa dengan mobil biayanya lebih murah.
Kehadiran Pak AR,------begitu biasanya disebut, diantar oleh putranya, saya rasakan sebagai keindahan yang luar biasa. Keindahan yang saya lihat ketika itu, di antaranya adalah bagaimana seorang tua telah berhasil mendidik putranya, hingga ketika ayahnya pergi, ia tidak sampai hati membiarkan sendirian, hingga harus mengantarkannya. Selain itu, saya juga membayangkan, alangkah nikmatnya, bagi seorang anak, berkesempatan mengantarkan orang tua, berdakwah menyampaikan pesan-pesan rasulullah kepada banyak orang.
Peristiwa itu saya rasakan sebagai sesuatu yang sangat indah. Seorang yang sudah tua, lagi pula kesehatannya sudah sering terganggu, tetapi masih berkenan memberikan pengajian di tempat yang jarak tempuhnya cukup jauh. Saya melihat, adanya kecintaan, tanggung jawab dan amanah menyampaikan pesan-pesan kebaikan melalui ceramahnya. Keindahan lainnya ketika itu, saya juga melihat adanya bakti seorang anak terhadap orang tua. Pak Sukri, putra Pak AR, ketika itu saya lihat, dengan sabar, ikhlas, dan tawadhu’ mengantar ke mana saja ayahnya pergi, untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan umat.
Dengan kedatangan Pak AR ketika itu, pengajian berlangsung. Di lingkungan Muhammadiyah, pengajian Pak AR sangat disukai. Ceramahnya selalu terasa enak, segar, dan teduh. Dalam ceramah, Pak AR tidak pernah menyinggung perasaan siapapun. Biasanya, dalam ceramahnya, selalu mengundang senyum dan bahkan gelak tawa. Nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan, biasanya mudah dipahami, terasa enak didengar, dan mendatangkan semangat untuk menjalankannya. Sebagai seorang Kyai, begitulah biasanya, tatkala menyampaikan pesan-pesan, termasuk dalam pengajian, selalu mengemasnya dengan bahasa yang enak dan menarik.
Sebulan setelah pengajian Pak AR, ada sesuatu yang saya rasakan sangat mengharukan lagi. Yaitu, saya mendapatkan kiriman dari beliau, berupa buku-buku berukuran kecil, tulisan Pak AR sendiri. Dalam surat pengantarnya, beliau pesan agar buku-buku dimaksud ditaruh di perpustakaan, dan sebagiannya agar diberikan kepada para dosen dan karyawan. Yang sangat mengharukan lagi, di bagian bawah buku kecil tersebut tertulis keterangan, bahwa : “buku ini dicetak dari sisa biaya perjalanan menghadiri pengajian yang diberikan oleh di Universitas Muhammadiyah Malang”. Pak AR., dengan cara itu, memberikan contoh tentang kejujuran dan sekaligus semangat berbagi.
Pak AR Fahruddin, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sudah lama dipanggil oleh Allah swt., wafat. Akan tetapi keindahan hati dan ketauladanannya sulit saya lupakan. Saya membayangkan, jika apa yang dilakukan oleh Pak AR, juga dimiliki dan dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini, maka saya membayangkan, bangsa ini tidak perlu capek memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya. Bahkan, kiranya juga tidak perlu ada KPK, apalagi harus sibuk dan sulit mencari dan memilih ketuanya, seperti yang dialami sekarang ini. Akhlak Rasulullah yang dianut oleh Pak AR memang benar-benar indah. Wallahu a’lam
Sumber : http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1461-keindahan-akhlak-.html
Baca Selanjutnya..
Cerita yang saya maksudkan ini, sesungguhnya juga sederhana saja, yaitu hanya terkait tentang pengajian, kebaktian anak terhadap orang tua, dan ditambah lagi tentang semangat berbagi. Saya sebut sebagai hal sederhana, karena sesungguhnya bisa dilakukan oleh siapapun, sekalipun ternyata jarang terjadi. Maka, itulah sebabnya, peristiwa itu saya rasakan sebagai sebuah keindahan yang selalu saya ingat.
Ketika saya masih menjabat sebagai Pembantu Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, kira-kira 17 tahun yang lalu, saya menyelenggarakan pengajian, yang diikuti oleh para pimpinan, dosen, dan karyawan kampus itu. Pada pengajian itu, sebagai pembicara, saya mengundang Pak AR Fahruddin, Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang bertempat tinggal di Yogyakarta.
Untuk maksud pengajian itu, saya memohon kesediaan beliau lewat tilpun. Saya sudah merasa terbiasa berkomunikasi dengan beliau, sehingga sekalipun pembicaraan itu hanya lewat tilpun, saya rasa tidak mengapa. Beliaupun juga melayani pembicaraan itu dengan baik. Selain itu saya tahu, bahwa beliau itu selalu mengedepankan kesederhanaan, kemudahan, dan efisiensi. Pembicaraan lewat tilpun jauh lebih sederhana, mudah, dan efisien daripada saya harus menghadap beliau ke Yogyakarta.
Saya sangat bersyukur ketika itu, beliau memenuhi permohonan saya, sekalipun hanya saya ajukan permohonan itu lewat tilpun. Selanjutnya, saya mohon kepada beliau ketika itu, agar ketika hadir ke Malang, supaya menggunakan pesawat terbang saja. Saya memohon agar beliau tidak naik mobil, supaya tidak terlalu capek. Usulan itu saya ajukan, dengan pertimbangan selain beliau sudah cukup sepuh, juga beberapa waktu, saya dengar kesehatannya harus selalu dijaga. Atas usul saya itu, beliau mengiyakan.
Menjelang tiba waktunya pengajian, Pak AR Fahruddin datang. Ternyata tidak jadi naik pesawat terbang, beliau diantar oleh putranya, yaitu Pak Sukri dengan mobil. Saya ketika itu kaget dan menanyakan, mengapa tidak naik pesawat sebagaimana yang saya usulkan terdahulu. Maka, dijawab secara spontan oleh beliau, bahwa dengan mobil biayanya lebih murah.
Kehadiran Pak AR,------begitu biasanya disebut, diantar oleh putranya, saya rasakan sebagai keindahan yang luar biasa. Keindahan yang saya lihat ketika itu, di antaranya adalah bagaimana seorang tua telah berhasil mendidik putranya, hingga ketika ayahnya pergi, ia tidak sampai hati membiarkan sendirian, hingga harus mengantarkannya. Selain itu, saya juga membayangkan, alangkah nikmatnya, bagi seorang anak, berkesempatan mengantarkan orang tua, berdakwah menyampaikan pesan-pesan rasulullah kepada banyak orang.
Peristiwa itu saya rasakan sebagai sesuatu yang sangat indah. Seorang yang sudah tua, lagi pula kesehatannya sudah sering terganggu, tetapi masih berkenan memberikan pengajian di tempat yang jarak tempuhnya cukup jauh. Saya melihat, adanya kecintaan, tanggung jawab dan amanah menyampaikan pesan-pesan kebaikan melalui ceramahnya. Keindahan lainnya ketika itu, saya juga melihat adanya bakti seorang anak terhadap orang tua. Pak Sukri, putra Pak AR, ketika itu saya lihat, dengan sabar, ikhlas, dan tawadhu’ mengantar ke mana saja ayahnya pergi, untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan umat.
Dengan kedatangan Pak AR ketika itu, pengajian berlangsung. Di lingkungan Muhammadiyah, pengajian Pak AR sangat disukai. Ceramahnya selalu terasa enak, segar, dan teduh. Dalam ceramah, Pak AR tidak pernah menyinggung perasaan siapapun. Biasanya, dalam ceramahnya, selalu mengundang senyum dan bahkan gelak tawa. Nilai-nilai ajaran Islam yang disampaikan, biasanya mudah dipahami, terasa enak didengar, dan mendatangkan semangat untuk menjalankannya. Sebagai seorang Kyai, begitulah biasanya, tatkala menyampaikan pesan-pesan, termasuk dalam pengajian, selalu mengemasnya dengan bahasa yang enak dan menarik.
Sebulan setelah pengajian Pak AR, ada sesuatu yang saya rasakan sangat mengharukan lagi. Yaitu, saya mendapatkan kiriman dari beliau, berupa buku-buku berukuran kecil, tulisan Pak AR sendiri. Dalam surat pengantarnya, beliau pesan agar buku-buku dimaksud ditaruh di perpustakaan, dan sebagiannya agar diberikan kepada para dosen dan karyawan. Yang sangat mengharukan lagi, di bagian bawah buku kecil tersebut tertulis keterangan, bahwa : “buku ini dicetak dari sisa biaya perjalanan menghadiri pengajian yang diberikan oleh di Universitas Muhammadiyah Malang”. Pak AR., dengan cara itu, memberikan contoh tentang kejujuran dan sekaligus semangat berbagi.
Pak AR Fahruddin, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sudah lama dipanggil oleh Allah swt., wafat. Akan tetapi keindahan hati dan ketauladanannya sulit saya lupakan. Saya membayangkan, jika apa yang dilakukan oleh Pak AR, juga dimiliki dan dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini, maka saya membayangkan, bangsa ini tidak perlu capek memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya. Bahkan, kiranya juga tidak perlu ada KPK, apalagi harus sibuk dan sulit mencari dan memilih ketuanya, seperti yang dialami sekarang ini. Akhlak Rasulullah yang dianut oleh Pak AR memang benar-benar indah. Wallahu a’lam
Sumber : http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1461-keindahan-akhlak-.html
Baca Selanjutnya..